Konsep 6 Ruas Jalan Tol, Apakah Solusi Kemacetan DKI? (bagian 1)
PERBAIKI ANGKUTAN MASSAL
Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation & Development Policy mengemukakan beberapa alasan kenapa menolak rencana itu. “Sekurangnya ada 7 alasan. Pertama jalan tol tidak akan menyelesaikan kemacetan. Kedua, jalan tol justru menimbulkan perjalanan baru untuk orang yang tadinya tidak menggunakan kendaraan pribadi (nebeng/naik bus), menjadi tertarik untuk beralih ke kendaraan pribadi,” ujar Yoga seperti dikutip (www.otomotifnet.com).
Alasan ketiga kebijakan transportasi di negara maju adalah memfasilitasi pergerakan manusia, bukan kendaraan pribadi. Yang keempat, negara maju justru makin mempersulit penggunaan kendaraan pribadi dengan menerapkan pajak mahal, bensin mahal, parkir mahal dan sedikit serta road charging.
“Kemudian, jalan layang akan menurunkan kualitas hidup masyarakat di sekitar jalan. Contoh di jalan DI Panjaitan, Jaktim yang makin kumuh. Lalu, peningkatan perjalanan di kota Jakarta tidak akan pernah cukup jika difasilitasi dengan kendaraan pribadi. Maka angkutan massal harus jadi prioritas. Dan terakhir, pembangunan jalan tol justru berlawanan dengan prioritas angkutan massal,” ujar alumni transport planning Leeds University, Inggris ini.
Peneliti berusia 30 tahun ini menambahkan, lebih baik anggaran sekitar Rp 40 triliun itu dialihkan untuk investasi ke BRT (bus rapid transit) atau busway yang jauh lebih murah. “Transjakarta dapat ditingkatkan hingga dapat mengangkut 1,5 juta orang per hari, atau 4 kali lipat dari saat ini,” ungkapnya.
Investasinya juga tidak besar. Cukup Rp 3,5 triliun rupiah dan dalam 10 bulan sudah dapat diimplementasikan. Ketimbang jalan tol baru dalam kota yang akan rampung tahun 2022. “ Membangun BRT jelas sangat cepat,” imbuh Yoga.